UPACARA GREBEG
UPACARA GREBEG
Garebeg adalah salah satu upacara kerajaan yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh Kraton Kesultanan Yogyakarta. Di dalam upacara garebeg banyak terangkum unsur-unsur kebudayaan lama Nusantara, seperti religi, bahasa, dan adat istiadat. Dalam upacara Garebeg ini pula dapat disaksikan wujud dari gagasan-gagasan dan alam pikiran religius leluhur. Berbagai ungkapan simbolis dalam Garebeg sesungguhnya banyak mengandung nilai-nilai sosial budaya yang sudah terbukti sangat bermanfaat untuk menjaga keseimbangan, keselarasan kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Upacara gerebeg ini erat sekali kaitannya dengan sejarah perkembangan dan kehidupan beragama di tanah air serta sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Islam.
Pengertian
Garebeg dan Jenis Garebeg
Dalam
bahasa Jawa, kata garebeg, gerbeg atau grebeg, bermakna:
suara angin menderu. Sedangkan hanggarebeg, mengandung makna
mengiring raja, pembesar atau pengantingarebeg di Kesultanan Yogyakarta
dan di Kesunan Surakarta mempunyai makna khusus, yakni upacara kerajaan yang
diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, merayakan
Idul fitri dan Idul adha.
Penyelenggaraan
upacara gerebeg diadakan tiga kali dalam setiap tahun, yaitu dalam bentuk
upacara: 1). Gerebeg Maulud; 2). Garebeg Puasa/Syawal; 3). Garebeg Besar.
Ketiga macam upacara garebeg tersebut sudah dilaksanakan oleh Sultan sejak
tahun 1756. Apabila bertepatan dengan tahun Dai (setiap delapan tahun),
diselenggarakan Gerebeg Mulud Dai.
1.
Garebeg Mulud. Garebeg Mulud diselenggarakan untuk memperingati
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang bertepatan de¬ngan tanggal 12 Rabiulawal.
Bulan ini disebut juga bulan Mulud. Oleh sebab itu garebeg yang diselenggarakan
dalam rangka hari kelahiran Nabi Muhammad SAW itu disebut Gerebeg Mulud. Tujuan
merayakan dan memperingati hari lahir Nabi, selain untuk menghormati
kehadirannya di dunia ini juga untuk memetik suritauladan dari kehidupan
Rasullulah. Tradisi tersebut sudah dimulai sejak jaman Kesultanan Demak.
2.
Garebeg Puasa/Syawal. Upacara ini disebut Gerebeg Puasa karena
diselenggarakan untuk menghormati bulan suci Ramadhan. Dalam bulan suci itulah
umat Islam diwajibkan untuk memenuhi rukun Islam yang keempat, yaitu berpuasa
sebulan penuh. Disamping itu Garebeg puasa juga dimaksudkan untuk menghormati
malam kemuliaan atau Malam Lailatul Qadar yang diperkirakan terjadi antara
tanggal 21 bulan Ramadhan sampai 29 bulan Ramadhan.
3.
Garebeg Besar. Upacara garebeg Besar dimaksudkan sebagai upacara
untuk merayakan hari raya Iduladha yang terjadi di bulan Zulhijah. Iduladha
disebut al'ied kabir yang berarti besar atau perayaan besar. Oleh sebab itu
garebeg yang diselenggarakan juga disebut Garebeg Besar. Selain itu garebeg ini
dimaksudkan juga untuk merayakan umat Islam yang baru saja kembali dari
menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Pada kesempatan ini Sultan menyerahkan
sejumlah hewan/ternak untuk kurban.
Tempat Upacara Garebeg
Rangkaian upacara biasanya dipusatkan di dua tempat, yaitu di
Tratag Sitihinggil dan di Kompleks Mesjid Besar.
Tratag Sitihinggil adalah sebuah bangunan luas berbentuk segi
empat memanjang dengan tiang-tiang tinggi tanpa dinding. Dahulu Tratag
Sitihinggil beratapkan anyaman bambu dengan tiang-tiang bambu. Semasa
pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, tiang-tiang bambu diganti dengan
tiang besi dan atapnya diganti dengan atap seng.
Ambang pintu depan Mesjid Besar dipergunakan untuk upacara
penerimaan sesaji selamatan negeri dan tempat untuk menyambut Sultan setiap
kali berkunjung ke Mesjid Besar.
Serambi
Mesjid Besar merupakan tempat kegiatan tempat kegiatan Sultan pada upacara
religius yang disebut pasowanan mulud setiap kali ada Garebeg Mulud dan Garebeg
Mulud Dai. Di tempat ini dibacakan riwayat hidup Rasulullah oleh Kyai Kanjeng
Pengulu.
Alat Upacara dan Kelengkapannya
Pada waktu berlangsung upacara garebeg, salah satu kelengkapan
upacara yang selalu diserbu oleh masyarakat adalah gunungan. Gunungan
merupakan salah satu wujud sesaji selamatan (sajen wilu-jengan-Jw) yang
khusus dibuat pada setiap upacara garebeg. Gunungan terbuat dari berbagai
jenis bahan makanan seperti nasi tumpeng, kacang panjang, wajik, telur asin,
cabe merah, kelapa muda, pisang dan berbagai bahan makanan lainnya yang ditata
sedemikian rupa sehingga menyerupai kerucut atau gunungan.
Terdapat enam macam gunungan yang melengkapi upacara gare¬beg,
yakni Gunungan Lanang, Gunungan Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan,
Gunungan Darat dan Gunungan Kutug/Bromo. Masing-masing gunungan mempunyai
bentuk dan fungsi/maksud ter-tentu. Setiap gunungan ditempatkan di atas nampan
besar berukuran 2 x 1/2 meter, diusung oleh sekitar 16 orang.
Perangkat lain adalah gamelan beserta Gendhing-gendhing yang
khusus dipertunjukkan hanya pada upacara garebeg. Nama gamelan tersebut adalah
Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo. Selain itu masih pula terdapat benda-benda
upacara yang dapat digolongkan pada Benda Upacara Kerajaan, Benda Upacara
Sultan dan Pusaka-pusaka Kerajaan. Semua benda-benda tersebut dipertunjukkan
kepada masyarakat terkadang dalam bentuk pameran dalam Acara Sekaten.
Unsur lain yang tak kalah menariknya bagi masyarakat dan
wisatawan dalam setiap acara garebeg adalah dengan diadakannya prosesi yang
melibatkan Prajurit Keraton dan Polowijo Cebolan. Prajurit Keraton adalah
angkatan bersenjata yang dimiliki oleh Kraton, lengkap dengan pakaian
tradisionalnya. Mereka dikenal dengan berbagai sebutan menurut kesatuannya,
seperti Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogyakarta,
Nyutro, Daeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero dan Surokarso.
Analisis
Upacara grebeg di Yogyakarta masih berlangsung setiap tahunnya dan setiap acara
grebeg selalu dihadiri ribuan orang mulai dari anak kecil hingga orang tua.
Mereka selalu menyambut dengan antusias setiap acara grebeg tersebut
berlangsung, berbondong-bondong hadir ke Masjid Besar untuk menyambut acara
grebeg.
Berikut adalah video tentang upacara grebeg :
credit to : kebudayaanindonesia.net, pengenliburan.com
Tidak ada komentar: